BEBEZHA - Pemerintah Indonesia dituduh 'tidak membantu' WNI di bawah
umur yang dijebloskan ke penjara dewasa di Australia bersama para
pembunuh dan pemerkosa, dan seorang Konjen RI waktu itu mengaku 'hanya
bisa pasrah.' Investigasi BBC News Indonesia bersama majalah TEMPO.
Sejumlah
pengacara Australia kini melancarkan gugatan hukum, agar lebih dari 100
warga Indonesia yang dipenjara secara tidak sah antara 2008 dan 2011
itu mendapatkan kompensasi. Colin Singer, salah satu pengacara yang
menangani kasus ini, waktu itu tengah bertugas sebagai pemantau penjara
independen di Australia, ketika menemukan bocah laki-laki Indonesia
berbadan 'kecil' di kompleks penjara dengan pengamanan maksimum di
Perth.
Penjara ini dikenal sebagai rumah tahanan bagi para penjahat kelas kakap.
"Ada
anak kecil yang memegang pagar kawat berduri dan saya ingat, saya
bertanya kepadanya dengan lembut, 'Mas, siapa namamu?' Ia menangis,
tampak jelas ia sangat trauma."
Kejadiannya pada April 2010. Singer sangat syok dan ia langsung
menghubungi pihak berwenang, baik di Australia maupun Indonesia, untuk
memberi tahu bahwa ada anak di penjara dewasa. Singer yakin ada
kesalahan prosedur.
"Saya meninggalkan penjara pada pukul 16.00 dan menelepon Konsulat Jenderal Indonesia di Perth."
Namun,
kata Singer, baru sepekan kemudian itu menerima pesan pendek (SMS) dari
konsul jenderal RI di Perth, Syarief Syamsuri yang mengatakan, bahwa
'sejauh ini tak ada masalah anak di bawah umur di penjara tersebut.'
"Pemerintah Indonesia tidak ingin mengambil langkah," kata Singer.
"Mereka sama sekali tidak menawarkan bantuan apa pun. Saya sangat kecewa dan juga khawatir."
Para pengacara Australia yang membantu anak-anak itu memperjuangkan ganti rugi. (BBC)
Singer sungguh tak habis pikir, dan sangat khawatir.
"Benar-benar
tak bisa dipercaya ada seorang anak yang berada di penjara dewasa,
bukan hanya sehari, bukan satu pekan, tapi sudah selama hampir tiga
tahun dan ini tidak hanya satu anak," ucapnya.
Anak di balik jeruji penjara
Anak yang dijumpai Singer di penjara Australia adalah Ali Jasmin, yang lahir di Flores.
Kisah Ali mirip dengan kisah semua bocah laki-laki yang dipenjara di Australia.
Ia
mendapat tawaran uang besar untuk bekerja sebagai awak kapal, tanpa
tahu persis apa yang sebenarnya dilakukan oleh orang-orang yang
menawarinya pekerjaan itu.
Ali Jasmin dengan isteri dan anaknya. (BBC)
Suatu hari, Ali dan beberapa orang lain menjadi awak dari perahu yang berlayar dari kawasan Indonesia Timur ke Jawa dan tiba-tiba saja sejumlah orang, yang ia katakan berasal dari Afghanistan, naik ke atas kapal, di pelabuhan Muara Angke, Jakarta.
"Saya tanya ke kapten, 'Apa yang terjadi?' ia mengatakan tenang saja, nanti juga kamu akan tahu."
Colin Singer membantu Ali mendapatkan ganti rugi atas perlakuan pemerintah Australia. (BBC)
Mereka ternyata bertolak menuju Australia secara ilegal. Dan orang-orang yang ada di atas perahu adalah para pencari suaka atau imigran gelap, yang ingin memulai kehidupan baru di Australia.
Perahu dihadang oleh angkatan laut Australia dan Ali pun ditahan.
"Menakutkan.
Itu untuk pertama kalinya saya berhadapan dengan tentara angkatan laut
Australia. Bule-bule, badan mereka besar-besar dan saya masih sangat
muda," katanya.
Undang-undang Australia menyebutkan awak perahu
yang masih anak-anak seharusnya dikembalikan ke negara asal dan tidak
akan didakwa, tetapi yang dialami Ali, lain.
Sejumlah dokumen dikirim ke KJRI Perth, termasuk akta kelahiran, yang menunjukkan ia berusia 13 tahun ketika itu.
"Saya
selalu menyatakan bahwa saya masih anak-anak, tapi saya dijatuhi
hukuman penjara tiga tahun karena mereka mengatakan saya orang dewasa,"
kata Ali.
Namun aparat Australia tidak percaya, dan melakukan uji
umur. Dokter yang melakukan uji sinar-X atas tulang pergelangan
tangannya menyimpulkan usianya 19 tahun.
"Saya marah dengan tes yang mereka pakai. Mengapa mereka tidak bertanya ke ibu saya. Tes itu bukan yang melahirkan saya."
Collin Singer, sang pengacara. (BBC)
Pada 27 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Australia itu mempublikasikan hasil investigasi mereka yang menyatakan memang terjadi kesalahan prosedur dalam memenjarakan anak-anak bersama penjahat dewasa.
Laporan berjudul Age of Uncertainty itu
menyebutkan ada 180 anak yang mendekam di penjara dewasa Australia.
AHRC dengan jelas menyebutkan bahwa pemerintah Australia melanggar
Konvensi Hak Anak yang diatur oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. AHRC
terutama menyoroti prosedur pemeriksaan usia melalui sinar-X.
Indonesia 'hanya bisa pasrah'
Konsul Jenderal RI di Perth ketika itu dijabat oleh Syarief Syamsuri yang sekarang menjadi duta besar untuk Maroko.
Melalui
telepon, kepada BBC dan TEMPO, ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia
tidak bisa mempertanyakan tes usia yang dilakukan Australia saat itu.
"Saat
itu kita hanya bisa pasrah saja karena tidak memegang bukti apa-apa.
Maksud saya pihak KJRI tidak memiliki bukti apa pun mengenai umur anak
tersebut," kata Syarif.
"Kadang-kadang menjadi susah karena
anak-anak yang belasan tahun tersebut mukanya terlihat lebih tua, karena
mungkin kondisi mereka juga ya."
Pemerintah Australia kini menghadapi gugatan karena dituduh memperlakukan anak-anak yang terlibat penyeludupan pengungsi dengan tidak baik. (BBC)
Ia bersikukuh pihaknya sudah mengambil semua langkah agar bocah-bocah ini nyaman di penjara dan menyatakan mereka 'senang'.
"Dari
sudut saya itu mereka senang di sana, mereka bisa olahraga secara rutin
karena disediakan lapangan-lapangan basket, lapangan bola, termasuk
untuk nonton TV itu ada ruangan tersendiri."
"Tentu dipenjara tidak enak, namun karena fasilitasnya tersebut mereka menikmati itu, begitu," kata Syarif.
Narkoba dan pelecehan seks
Muhamad
Rasid, satu dari anak-anak Indonesia dengan cerita serupa ditahan pihak
berwenang Australia, dulu ditempatkan di penjara Silverwater
Correctional Complex.
Silverwater merupakan penjara Australia
dengan keamanan maksimum, tempat menghukum para penjahat kakap. "Di
penjara tiap hari saya ditawari narkotika," kata Rasid.
Ia mengatakan seorang tahanan menepuk pantatnya tiap kali bertemu. Mulanya, Rasid menganggap itu sebagai canda.
Puncaknya
adalah ketika tahanan itu memelorotkan celananya ketika suasana penjara
sedang sepi dan hanya ada mereka berdua. Rasid memberontak dan kabur ke
aula penjara seketika.
"Itu kejadian paling menakutkan," katanya.
"Suatu saat nanti saya akan cerita kejadian-kejadian ini kepada anak istri saya," katanya, pelan.
Abdul Ryan, salah satu yang dipenjarakan di Australia saat masih di bawah umur. (BBC)
Pelecehan seksual terhadap anak-anak itu, saat pemeriksaan maupun penahanan, merupakan salah satu informasi yang mengemuka dalam investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Australia.
Seperti kejadian yang dialami Rasid, Ali Jasmin sempat hampir diperkosa seorang tahanan ketika tengah memijat di selnya.
Dugaan
pelecehan seksual itu sebetulnya bisa menjadi alasan pemerintah
Indonesia menuntut anak-anak itu dipindahkan ke penjara lain. Namun
Syarief Syamsuri, mantan Konjen Indonesia di Perth, menepiskannya: "Soal
itu kami dengar, tapi tak menonjol," kata dia.
Marty Natalegawa,
yang menjadi Menteri Luar Negeri ketika peristiwa itu terjadi, juga
menolak tuduhan pemerintah mengabaikan anak-anak itu. "Kami (saat itu)
mendesak Australia agar memperlakukan anak-anak itu dengan layak," kata
Marty seusai meluncurkan bukunya dua pekan lalu.
'Diabaikan pemerintah Indonesia'
Tapi Ali Jasmin punya cerita lain. Ia menegaskan tidak banyak mendapat bantuan dari Indonesia.
"Mereka
(KJRI) sempat bertanya siapa-siapa yang masih di bawah umur tolong
angkat tangan. Ya sudah kami angkat tangan. Tapi tidak ada perkembangan
sama sekali dari situ," kata Ali.
"Kesel sih, marah.
Karena seharusnya mereka lah yang jadi kekuatan kami selama di sana,
kan. Seharusnya mereka lebih bisa membela kami, tapi kenyataannya
tidak."
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia, Kementerian
Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, mengatakan bahwa ketika itu akta
kelahiran tidak bisa dipakai sebagai patokan.
"Memang mereka tidak banyak yang punya akta. Ada yang punya akta tapi itu dibuat jauh setelah dia lahir," katanya.
"Sempat melakukan verifikasi. Jadi akhirnya sekarang pembuktian scientific dengan sinar-X itu."
Dibiarkan mati
Mata Siti Rudy berkaca-kaca saat mengingat masa ketika dirinya tak mendapatkan kabar sama sekali tentang anaknya.
Ia mengira anaknya, Abdul Ryan, telah meninggal dunia.
"Saya sering menangis karena ia adalah anak paling muda, dialah yang menjaga saya," kata Siti.
"Setelah
sekian lama, ia menelepon dan memberi tahu bahwa ia ada di dalam
penjara Australia! Kabar yang sungguh tidak mengenakkan," katanya sambil
duduk di lantai bersemen.
Abdul dan ibundanya. (BBC)
Abdul, seperti halnya Ali, juga ditempatkan di penjara dewasa dan berada di tempat ini selama dua setengah tahun. Keluarganya dan pejabat desa tempat ia berasal menyatakan usianya 14 tahun saat dimasukkan ke penjara dewasa.
"Saya sangat takut karena mungkin saya akan dipukuli," kata Abdul.
"Saya
berada jauh dari keluarga dan ditahan lama sekali. Itu yang menakutkan,
tapi setelah beberapa lama saya menjadi terbiasa," katanya sambil
menunduk menatap lantai.
Perjuangan keadilan
Ali
Jasmin akhirnya dibebaskan dan dideportasi ke Indonesia pada 2012
setelah media ramai-ramai memberitakan kasusnya, dan juga atas bantuan
Colin Singer.
Ali Jasmin waktu itu mendekam dalam penjara dewasa padahal masih anak-anak. (BBC)
Tahun lalu Ali mendapatkan keadilan. Ia menjadi orang pertama yang vonisnya dibatalkan. Dan pengadilan banding di Australia Barat juga memutuskan bahwa proses hukum terhadap dirinya cacat.
"Saya bersyukur sekali pada waktu itu karena ada, ada orang seperti Pak Colin Singer yang mau membantu kami."
"Yang
saya perjuangkan sekarang adalah ganti rugi atas keberadaan saya di
penjara. Uang ganti rugi akan saya serahkan kepada orang tua saya. Saya
ingin membahagiakan mereka," tutur Ali.
Saat pengacara masuk kampung
Rumah kecil Siti Rudy di Desa Oelaba village, Pulau Rote, tampak ramai.
Kerumunan anak-anak kecil yang ada di teras tertawa kecil ketika sejumlah pengacara Australia berdatangan, menemui Siti.
Mark Barrow dari firma hukum Ken Cush Associates di Australia mengumpulkan kesaksian dan bukti agar vonis terhadap Abdul dibatalkan dan Abdul mendapatkan ganti rugi.
"Terima kasih, Mark," kata Siti beberapa kali. Tangan Siti menepuk-nepuk punggung Barrow sebagai tanda terima kasih.
Para pengacara Australia itu di kampung para korban. (BBC)
Lebih dari 120 anak telah menandatangani surat pernyataan permintaan kompensasi melalui komisi hak asasi manusia Australia.
Tuntutan
kompensasi ditujukan kepada kepolisian federal, direktur pidana umum
kejaksaan, dan dokter yang melakukan tes sinar-X untuk menentukan usia.
"Jika
kasusnya terjadi terhadap anak Australia, Anda tentu beranggapan bahwa
polisi Indonesia akan menelepon orang tua mereka dan meminta rincian dan
kemudian dengan segera mengirim kembali anak ini ke Australia. Yang
terjadi (terhadap anak-anak Rote di Australia ini) tidak seperti itu,"
kata Barrow.
Barrow mengatakan tersedia jalur hukum jika
kompensasi yang diupayakan melalui komisi hak asasi manusia Australia,
tidak tercapai.
Sudah terlambat bagi Erwin
Bagi
Erwin Prayoga, yang berada satu sel bersama Ali Jasmin, upaya hukum ini
sudah terlambat. Ia meninggal dunia dua bulan setelah kembali ke Pulau
Rote.
Kakak Erwin, Baco Ali, menangis ketika menuturkan kondisi mengenaskan yang dialami Erwin sebelum menghembuskan nafas terakhir.
"Sakit rasanya mengingat bagaimana parahnya kondisi Erwin," katanya sambil terisak.
Erwin harus dibawa dengan gerobak tangan ke klinik terdekat.
"Saya
diberi tahu oleh pengacara bahwa jika seseorang sakit, ia tak boleh
dipulangkan dari Australia. Saya ingin tahu, mengapa Erwin dipulangkan."
Ali
Jasmin, yang berada di penjara yang sama dengan Erwin, mengatakan harus
ada yang bertanggung jawab dalam kasus yang menimpa Erwin.
"Kalau seandainya feeling
saya itu benar, bahwa mereka (Australia) tahu bahwa Erwin bakalan
meninggal, seharusnya dia terlebih dulu mendapat perawatan, ketimbang
dikirim pulang. Kan kesannya tidak baik sekali bagi saya."
Pengacara-pengacara Australia sudah mendapatkan catatan medis Erwin dan mengajukan pertanyaan yang sama.
Makam Erwin yang begitu sederhana. (BBC)
Sejauh ini tidak ada bukti bahwa pemerintah Australia mengetahui Erwin tengah sakit keras saat dikirim pulang. Catatan kesehatan dari tenaga medis profesional memperlihatkan ia dinyatakan sehat untuk melakukan perjalanan pulang.
Betapa pun, keluarga menuntut ganti rugi. Jika dikabulkan, keluarga mengatakan mereka akan memperbaiki makam Erwin.
"Kalau ada ganti rugi, Alhamdulillah tentu saja, maka saya akan membangun makam yang lebih layak untuk Erwin."
Makam
Erwin, yang berada di belakang rumah keluarga, saat ini hanya ditandai
dengan batu dan kayu. Di makam ini Baco Ali sering memanjatkan doa.
Menolak berkomentar
Direktur Pidana Umum Kejaksaan Australia menolak permintaan wawancara yang diajukan BBC.
Jawaban
tertulis melalui email menyebutkan, "Seperti Anda ketahui, kasus hukum
ini masih berjalan dan karenanya tidak bisa memberikan wawancara atau
mengeluarkan pernyataan."
Rebecca Henschke, Dwiki Martha, Bagja Hidayat, Mustafa Silalahi, Erwan Hermawan dan Didit Haryadi
0 Response to "Anak-anak Indonesia yang Dipenjara Bersama Pembunuh di Australia"
Posting Komentar